Selasa, 26 Februari 2013

HABIBI AINUN

Inilah Film kisah asmara BJ Habibie dengan istrinya, Ainun, diangkat dari buku karya mantan Presiden RI yang ke-tiga ini. film yang sangat menakjubkan.
Adrie yang konon masih saudara dari Habibie ini, kudu ekstra kerja keras merampungkan film tersebut sebelum hari ulang tahun Ainun. Yakni, tanggal 11 Agustus 2012.
Saat ditemui di kawasan Mega Kuningan Jakarta belum lama ini, Adrie mengungkapkan keinginannya untuk menggarap film Habibie-Ainun, karena dilatar-belakangi oleh laku kerasnya buku bertajuk Habibie dan Ainun di pasaran.

Kisah Sejarah Penulisan Buku Habibi Ainun

Buku itu ditulis sendiri oleh pria bernama lengkap Bacharuddin Jusuf Habibie selepas sang istri meninggal dunia pada Mei 2010 lalu. Wanita bernama lengkap     Hasri Ainun Habibie ini meninggal di RS Ludwig-Maximilians-Universitat, Klinikum Grohadern, Munich sekitar pukul 17.35 waktu Jerman atau sekitar pukul 22.50 WIB.
Buku ini menjadi menarik, karena mengingatkan kita kembali kepada sebuah ungkapan: ‘Hingga Maut Memisahkan’. Dan rasanya, memang sebuah ungkapan yang pas buat pasangan Habibie-Ainun. Pasalnya, dengan penuh kesetiaan, Habibie menunggu sang istri dalam suka dan duka, bahkan hingga Ainun dipanggil Yang Maha Kuasa.

Buku Ainun Habibi dalam Tiga Bahasa (Arab, Jerman dan inggris)

Dari itulah, maka Habibie membuat buku perjalanan kisah asmara mereka. Tanggapan pasar cukup bagus, bahkan buku tersebut pun sudah diterjemahkan ke dalam tiga bahasa, dengan menggunakan tiga penerjemah.
Yakni, Profesor Nabila Lubis untuk bahasa Arab, Brigitte Burke untuk edisi bahasa Jerman, dan edisi bahasa Inggris oleh Satrio widono. Dari itulah, Adrie langsung berinisiatif menggarap buku tersebut ke dalam film layar lebar.
Menanggapi hal itu, salah seorang sineas senior Tanah Air, Deddy Mizwar, Jumat (3/2), di kawasan Cikini Jakarta mengatakan, kalau film-film yang mengangkat tentang tokoh Indonesia memang saat ini jarang ada. Nah, dengan adanya penggarapan film Habibie dan Ainun ini diharapkan bisa menjadi salah satu alternatif untuk memperkaya film sejarah di Indonesia. Kenapa?
"Sebab, Habibie merupakan salah seorang tokoh yang masih disegani di Indonesia. Habibie juga banyak menghasilkan karya, salah satunya di bidang penerbangan. Hingga ke tingkat internasional, karyanya pun diakui," papar pemeran tokoh Nagabonar ini. 

Di Balik Pembuatan Film Habibi Ainun

Film-film yang mengangkat tentang tokoh kepahlawanan atau pun tokoh yang berprestasi hingga ke tingkat internasional itu, lanjut Deddy, penting keberadaannya. Pasalnya, semua film itu sebenarnya merupakan pencetak sejarah, yang kelak bisa terus dinikmati oleh berbagai generasi.
Misalnya, film Cut Nyak Dien yang pernah diperankan oleh aktris kawak di negeri ini, Christine Hakim. Kyai Haji Ahmad Dahlan lewat film Sang Pencerah. Bahkan, film Sunan Kalijaga dan Nagabonar yang pernah ia perankan sendiri.
Gunanya apa, Dedy menjelaskan, itu untuk menjaga nasionalisme dari generasi ke generasi, bahwa di negeri ini punya banyak orang hebat. Pun, akhirnya bangga menjadi orang Indonesia.
Meski pun mengangkat tentang kisah asmara Habibie-Ainun, tapi nama besar Habibie-lah yang bisa memberikan pelajaran berharga kepada semua generasi, bahwa cinta sejati itu ternyata masih ada.
Perfilman di Indonesia sendiri, kata Deddy, saat ini masih kategori mengalami pasang-surut. Ditambah, masih banyaknya masalah festival film di negeri ini, yang seperti kita tahu masih banyak adu pendapat, sehingga banyak jenis festival film di Indonesia. Sebut saja, Festival Film Indonesia (FFI) dan Indonesian Movie Awards (IMA).
Beberapa sineas juga masih masuk dalam pengkotak-kotakkan. Ada Masyarakat Film Indonesia (MFI), yang diprakarsai oleh sineas gaek Mira Lesmana, Riri Riza, dan Nia Dinata.
Dalam kacamata MFI, film di Indonesia masih ‘dikuasai’ oleh kepentingan, bukan dihargai secara karya. Misalnya, pemenang FFI diduga masih ada unsur kepentingan dari pihak rumah produksi terkait. Siapa berani bayar, itu pemenangnya, sehingga MFI lebih memilih mengikuti IMA, yang diprakarsai oleh salah satu televisi berlambang rajawali itu.
Sementara bagi Deddy sendiri, ia lebih ingin bersifat netral bersama sineas-sineas kawak lainnya, seperti Didi Petet dan Niniek L Karim. Aktor sekaligus Sutradara sinetron Kiamat Sudah Dekat ini ingin menjadi jembatan bagi perfilman nasional, sehingga semua bisa berkarya dan masyarakat pun bisa diberikan suguhan tontanan film yang berkualitas, bukan yang berbau esek-esek seperti beberapa tahun belakangan ini.
Sedangkan sineas handal lainnya, Garin Nugroho, saat ini sedang merampungkan sebuah film sejarah dan kepahlawan berjudul Soegija, yang mulai diproduksi pada Nopember 2011 lalu.
Dengan mangambil lokasi di Gereja Gedangan Semarang, film ini mengangkat ketokohan Uskup Mgr Soegijapranata pada era perjuangan kemerdekaan Indonesia tahun 1940-1949. Soegijapranata sendiri merupakan tokoh Katolik pribumi Jawa yang pertama kali menjadi uskup serta dikenal sebagai seorang pahlawan nasional.
Film ini telah direncanakan sekitar tiga tahun lalu oleh Studio Audio Visual Puskat dan Garin sebagai sutradaranya. Film ini menggandeng sejumlah artis dan seniman seperti Nirwan Dewanto, Butet Kertaradjasa, dan Olga Lydia.
Kenapa Garin tertarik menggarap film berlatar belakang sejarah ini? "Garin juga mengungkapkan, bahwa film ini menjadi sangat penting, karena memberikan pesan yang mendalam tentang sebuah kepemimpinan," ujar Garin saat dihubungi via ponsel pribadinya belum lama ini.
Film ini sendiri, tambah Garin, tidak akan banyak berbicara mengenai agama, melainkan lebih banyak tentang pesan universal dan kemanusiaan. Dari film inilah, menurut Garin, bangsa Indonesia akan belajar tentang kemanusiaaan dan multikulturalisme.
Demikian munculnya tentang film sejarah. Kisah Profesor Cinta; Habibie dan Ainun juga tak kalah pentingnya anda baca.

Diposkan oleh http://mecindonesia.com/2012/11/film-sejarah-dan-asmara-habibi-dan-ainun.html

Tidak ada komentar:

Posting Komentar